Sungging Prabangkara - Soeara Moeria

Breaking

Jumat, 08 Agustus 2014

Sungging Prabangkara

Ilustrasi : google.

Cerpen : Kartika Catur Pelita 


Di  masa kerajaan Majapahit, saat Sang Raja Brawijaya  berkuasa, tersebutlah seorang   pelukis  dan ahli pahat  yang sangat terkenal.  Ia bernama Sungging  Prabangkara.  Karyanya  banyak dibeli dikoleksi  oleh para saudagar, bangsawan dan kaum kerajaan.  Hingga suatu ketika Sang Raja  terpesona  melihat sebuah lukisan karya Prabangkara. Beliau mengutus seorang pejabat istana untuk mengundang  Sungging Prabangkara ke istana. Sang Raja Brawijaya  memberi tugas pada Sungging Prabangkara untuk membuat sebuah lukisan.


“Aku  ingin kau melukis Permaisuriku tanpa permasuri tahu kalau dia sedang kau  lukis.”


 “Baiklah Paduka.”          


 “Sebentar  lagi akan  ada  partemuan agung. Permaisuriku hadir. Kau boleh datang dan melihatnya, lalu setelah itu pulanglah dan buatlah lukisan permasuri untukku. Oya…lukislah istriku dalam keadaan tanpa busana. Kau lukis semirip mungkin. Aku akan  menghukummu jika lukisan  pesananku tak sesuai dengan yang kuinginkan!”


Sungging  Prabangkara menyanggupi dan mohon diri.


Selama dalam perjalanan pulang  ia berpikir, bagaimana  bisa melukis sesuai keinginan Sang Raja,  sementara ia hanya dari  kejauhan melihat permaisuri. Itu  pun dalam  waktu yang  sebentar. Tapi sebagai    pelukis  profesional  Sungging Prabangkara harus bisa memenuhi keinginan sang raja,  sekaligus menepati  janjinya. 

* * *

Setiba di Sanggar Lukisnya,  Prabangkara bersemedi  memohon petunjuk Sang Pencipta. Esoknya kemudian dia  memulai  pekerjaannya melukis Sang Permaisuri Brawijaya. Selama melukis dia tak makan, tak minum. Bahkan tidak tidur selama beberapa hari. Prabangkara  hanya  mencurahkan pikirannya untuk bisa menyelesaikan lukisan sesuai keinginan sang raja.


Seminggu kemudian datang seorang prajurit  utusan dari Raja Brawijaya.


“Saya diutus Sang Raja  Brawijaya untuk mengambil lukisan  Sang Permaisuri. Sekalian Sang Sungging Prabangkara di mohon datang ke istana untuk  mengantarkan lukisan tersebut!”.


 “Tapi lukisannya belum selesai. Sebentar lagi.”


 “Hamba hanya diutus Sang Raja Brawijaya. Hari ini juga Sang Paduka ingin melihat lukisan itu!”


 “Baiklah kalau begitu. Tunggu  sebentar biar aku  menyelesaikannya sedikit lagi.”


Sang Prabangkara kembali ke sanggar lukisnya. Menyelesaikan lukisan yang sebentar lagi selesai. Mungkin karena tergesa-gesa menyapukan kuas, setitik pewarna  hitam jatuh di lukisannya. Menetes di pangkal paha permaisuri dan  menjadikannya setitik noda. Prabangkara  tak melihatnya dan  membawa lukisan tersebut ke istana.

* * *


Setiba di kerajaan, Sang  Raja Brawijaya  tak sabar lagi ingin  melihat hasil  lukisan Sungging  Prabangkara.


Ketika melihat  gambar permaisuri yang begitu mirip dengan  orangnya Raja Brawijaya terkagum. Tapi sesaat  kemudian   paras penguasa bumi Majapahit itu memerah ketika mendapati setitik noda, seperti tahi lalat di pangkal paha lukisan permaisuri.


 “Hamba mohon maaf Sang Paduka. Karena  tergesa-gesa hamba  berbuat ceroboh dan setitik pewarna  hitam itu mengotori pangkal  paha permasuri. Hamba benar-benar  tak sengaja….”


Prabu Brawijaya tak percaya dan telah menuduh  Prabangkara mengkhianatinya. Prabangkara disangkanya telah diam-diam melihat Permasuri ketika mandi di keputren. Menurutnya perbuatan Sungging Prabangkara ini  sangat keterlaluan dan sulit dimaafkan.


Raja Brawijaya diam-diam marah. Karenanya  Raja  Brawijaya  berniat menghukum  Sungging Prabangkara yang sebenarnya tak bersalah.

* * *


Di hari yanag telah ditentukan raja Brawijaya mengundang Sungging Prabangkara ke istana.


 “Aku  ingin memberi tugas padamu lagi  Prabangkara.”


“Apa yang Paduka inginkan hamba akan lakukan?”


“Buatkan aku  patung permaisuriku  dari  batang kayu cendana ini. Kau pahatlah kayu ini  sehingga menjadi  patung  permasuri. Seperti  tempo hari kau  harus membuat patung itu semirip mungkin dengan Sang Permasuri!”


 “Hamba akan mencobanya.”


 “Kau  sanggup mengerjakannya  Prabangkara?”


“Titah seorang Raja  hamba tak kuasa  menolaknya.”


“Jadi kau menolak  juga jika  aku minta kau membuat patung nanti  bukan di sanggar tempat  kerjamu?”


 “Di mana hamba harus membuatnya, Paduka?”


 “Aku  sudah menyiapkan tempat khusus  untukmu!”


Prabangkara tak  mengerti  maksud Sang Prabu Brawijaya. Tapi dia  menurut ketika di ajak  ke sebuah bukit, tak jauh dari lapangan kerajaan Majapahit. Di sana  para prajurit sedang menyiapkan sebuah  layang-layang   raksasa!


“Aku membuatkan layang-layang ini untukmu.  Sungging Prangkara. Kau naiklah ke atas layang-layang  itu, lalu  di sana kau buatkan patung  permaisuriku. Sebagai pemahat profesional, bukankah di  mana saja kau bisa mengerjakan  pekerjaanmu.”


“Hamba akan  mencobanya, Paduka.”


“Aku juga ingin memberikan   hiburan bagi rakyatku. Bukankah sebuah pertunjukkan  yang menarik, ketika melihat layang-layang raksasa  terbang dan di dalamnya  ada seorang pemahat terkenal yang sedang  bekerja!”


Sungging Prabangkara hanya  mengiyakan.


Beberapa prajurit  menaikkan Sungging Prabangkara  ke  atas  layang-layang   raksasa. Lalu sebatang kayu cendana dan peralatan  memahat disertakan pula.


Beberapa prajurit  menaikan  layang-layang dari atas bukit. Saat  itu angin berhembus kencang. Layang-layang raksasa  mengudara dan di dalamnya ada Sungging Prabangakara yang tengah memahat.


Penduduk Majapahit memandang dengan  takjub.  Sungging Prabangkara mencoba menyelesaikan  pekerjaannya mematung di sela-sela angin yang   berhembus kencang.


Prabangkara agak kesulitan   memahat. Tapi dia  harus bisa memenuhi tugas  yang diembannya dari seorang raja. Sungging Prabangkara pantang menyerah. Angin   kembali berhembus kencang. Penduduk yang melihatnya bersorak-sorak senang. Layang-layang raksasa mengudara semakin tinggi.  Tinggi!  Jauh dan jauh!


Layang-layang raksasa yang mengangkasa memang semakin jauh meninggalkan bumi Majapahit!


Karena  diam-diam Raja Brawijaya  memutus tali layang-layang  itu!
Sebagai hukuman karena  kesalahan yang diduga dilakukan  oleh Prabangkara.

* * *
         
Sementara  layang-layang terus  terbang  ke angkasa. Semakin tinggi dan jauh.


Tapi Sungging Prabangkara  tetap mengerjakan keinginan Sang Prabu Brawijaya. Hingga patung berwujud permasuri itu selesai, ketika  badai tiba-tiba datang.


Patung Parmasuri—hasil pahatan Sungging Prabangkara dan ganden  jatuh di  Pulau  Bali. Sementara Sungging  Prabangkara  dan tatah, pahat—terhempas  jatuh di Belakang Gunung, kerajaan  Japara (Jepara).

* * *
                                                                                                                Kota Ukir,  07 Agustus  2014        

Kartika Catur Pelita, novelis Perjaka (Akoer, 2011) ini tinggal di Jepara. Beberapa cerpen anak dia dimuat di Yunior (Suara Merdeka, Lampung Post, dan Kedaultan Rakyat). Selain cernak cerpennya juga mewarnai berbagai media; Suara Pembaruan, Annida Online, Satelit Pos, Okezone, Joe Fiksi, Majalah Kartini, Minggu Pagi, Solo Pos, Koran Merapi,  Koran Muria, Metro Riau, Inilah Koran  dan Nova.                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar